Keracunan MBG yang melanda ratusan siswa di Jawa Barat mengungkap permasalahan struktural yang serius. Lebih dari 393 pelajar di Bandung Barat mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi makanan program tersebut. Fenomena ini menunjukkan bahwa program yang diharapkan meningkatkan gizi siswa justru mengancam keselamatan mereka.
Sistem pengawasan kualitas makanan dalam program MBG ternyata masih sangat lemah dan tidak memadai. Banyak dapur penyedia makanan beroperasi tanpa standar higienitas yang ketat dan pemeriksaan rutin. Akibatnya, proses produksi makanan tidak terjamin keamanannya untuk dikonsumsi oleh siswa-siswa Indonesia.
Kekecewaan orang tua, guru, dan pihak sekolah semakin memuncak terhadap lemahnya komitmen pemerintah mengatasi masalah ini. Tidak sedikit yang mempertanyakan keseriusan aparat dalam menyelidiki kasus keracunan MBG secara menyeluruh. Dugaan keterlibatan pemilik dapur yang memiliki koneksi politik kuat menjadi hambatan investigasi yang transparan.
Pendidikan kejuruan seperti SMK Cokroaminoto seharusnya menjadi wadah pembelajaran yang aman bagi siswa. Namun, program MBG yang tidak terkontrol justru menciptakan risiko kesehatan yang mengkhawatirkan. Para pendidik di sekolah kejuruan merasa frustrasi karena harus menghadapi dampak negatif dari program pemerintah.
Selain itu, koordinasi antara Badan Gizi Nasional dengan dinas kesehatan setempat masih belum optimal dalam mengawasi implementasi program. Minimnya sumber daya manusia dan anggaran untuk pengawasan menyebabkan kualitas makanan tidak terpantau dengan baik. Hal ini mengakibatkan keracunan MBG menjadi masalah berulang di berbagai daerah di Indonesia.
Comments are closed